KARYA A.A NAVIS
JUDUL CERPEN : ANGIN DARI
GUNUNG
Sejauh mataku memandang, sejauh aku memikir, tak sebuah jua
pun mengada. Semuanya mengabur, seperti semua
tak pernah ada. Tapi angin dari gunung itu berembus juga. Dan seperti
angin itu juga semuanya lewat tiada berkesan.
Dan aku merasa diriku tiada.
Dan dia berkata lagi. Lebih lemah kini, "Kau punya istri sekarang, anak
juga. Kau berbahagia tentu."
"Aku sendiri sedang bertanya."
"Tentu. Karena tiap orang tak tahu kebahagiaannya. Orang cuma tahu
kesukarannya saja."
Dan dia diam lagi. Kami diam. Angin dari gunung datang lagi menerpa mukaku. Dan
kemudian dia berkata lagi.
"Sudah lima tahun, ya? Ya. Lima tahun kawin dan punya anak."
Aku masih tinggal dalam diamku. Aku kira dia bicara lagi.
"Kau cinta pada istrimu tentu."
"Anakku sudah dua."
"Ya. Sudah dua. Kau tentu sayang pada mereka. Mereka juga tentunya. Dan
kau tentu bahagia."
Dia berhenti lagi. Lalang yang ditiup angin bergelombang menuju kami. Lalu
angin menerpa mukaku lagi.
Dan aku merasa. ketiadaanku pula. Angin pergi.
"Kau ingat, Har?"
"Apa?" kutanya dia dengan gaya suaranya.
"Sembilan tahun yang lalu."
"Ya. Aku masih ingat. Tapi itu sudah lama lampaunya."
"Ya. Sudah lama. Aku tak pernah mau mengingatnya. Tapi kini aku ingat
lagi." Dia diam lagi.
Dan memandang jauh ke arah gunung itu. "Ketika itu seperti macam sekarang.
Kita duduk seperti ini juga.
Tapi tempatnya bukan di sini. Aku masih ingat, sekali kau menggenggam
jariku erat sekali.
Aku biarkan dia tergenggam. Dan dalam tekanan genggamanmu, aku tahu kau mau
bicara.
Dan aku menunggunya. Tapi kau tak berkata apa-apa."
"Masa itu, masa kanak-kanak kita," kataku. Tapi cepat kemudian aku
jadi menyesal telah mengatakannya.
"Ya," katanya dengan suara tak acuh. "Jari-jariku itu sudah tak
ada lagi kini. Kedua tanganku ini, kaulihat?
Buntung karena perang. Dan aku tak lagi dapat merasa bahagia seperti dulu. Biar
kau menggenggamnya kembali.
Mulanya aku suka menangis. Menangisi segala yang sudah hilang. Tapi kini
aku tak menangis lagi.
Tak ada gunanya menangisi masa lampau. Buat apa?"
Aku jadi sentimental dan hatiku berteriak, meneriakkan seribu kenangan yang
datang mengharu biru.
Kucoba membuang segala kesenduan, tapi aku menjadi tambah tenggelam
olehnya.
Dan angin meniup lebih syahdu terasa. Serasa ada nyanyian iba besertanya.
"Tak ada gunanya," katanya lama kemudian. Dan aku menunggu dia bicara
lagi.
Tapi itu saja yang dikatakannya. Tak diteruskannya. Kedua tangannya yang
buntung itu diacungkannya ke depan,
disilangkan, lalu digesek-gesekannya. Melihat itu, aku mau tersedu.
Tersedu seperti ketika pusara Ibu mau ditimbuni.
"Kau punya anak, punya istri. Dari itu kau punya pegangan hidup, punya
tujuan minimal.
Tapi yang terpenting kau punya tangan. Hingga kau dapat mencapai apa saja yang
kaumaui.
Sebagai suami, sebagai ayah, sebagai laki-laki, sebagai manusia juga, seperti
yang kita omongkan dulu,
kau dapat mencapai sesuatu yang kauinginkan. Alangkah indahnya hidup ini,
kalau kita mampu berbuat apa yang kita inginkan.
Tapi kini aku tentu saja tak dapat berbuat apa yang kuinginkan. Masa
mudaku habis sudah ditelan kebuntungan ini."
Dan tangan itu diturunkannya lagi. Dia memandang lebih jauh melampaui balik
gunung dari mana angin meniup.
Kala itu aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya.
Sebuah ucapan yang indah dan memberi semangat seperti dulu sering
kuucapkan untuk anak buahku di front Barat.
Tapi bagaimana aku dapat mengatakan, kalau semangat itu sendiri telah
kulemparkan jauh-jauh pada suatu ketika.
"Dulu aku cantik juga, bukan?" katanya pula. "Bahkan tercantik
di front Barat itu. Aku tahu semua orang mau menarik perhatianku.
Semuanya mau mati-matian dan bekerja berat di depanku. Semuanya mau
berjuang membunuh musuh demi mendekatiku.
Tapi keitika musuh datang, aku kebetulan tak ada disana, mereka habis lari
kehilangan keberanian.
Kalau pemimpin yang datang di front, di waktu tak ada perempuan, aku menjadi
sibuk.
Aku diminta mengatur tempat tidur mereka. Dan ketika mereka mau pergi,
dicarinya aku dulu.
Dijabatnya tanganku erat-erat. Dan di ucapkannya kata-kata yang indah berisi
keharuan.
'Kami atas nama pemerintah dan seluruh pemimpin perjuangan revolusi
kemerdekaan mengucapkan terima kasih kepada Saudari.
Kami sangat merasa bangga dengan adanya patriot wanita seperti Saudari,
yang selamanya menyediakan waktu untuk memberi semangat kepada prajurit kita.
Kami juga yakin, kalau Saudari tak di sini, tentu front ini sudah lama di
duduki musuh.'
Begitulah. Kalau ada orang sakit, aku juga yang merawatnya.
Dan di waktu malam-malam yang damai, mereka minta hiburan.
Aku bernyanyi. Mereka memetik gitar. Dan mereka dapat melupakan segala
hal-hal yang menekan.
Dan waktu itu, aku sering merasa jumlah tanganku yang masih kurang. Aku mau
tanganku lebih banyak lagi.
Kalau boleh sebanyak jari ini.
Tapi sekali pernah juga aku berpikir-pikir, bahwa hidup seperti itu tidaklah
akan selamanya berlangsung.
Suatu masa kelak akan berakhir juga. Dan kalau perang sudah selesai, aku
ingin bersekolah lagi.
Sekolah apa? aku tak tahu. Yang aku tahu Cuma, tambah banyak ilmu, tambah
banyak yang dapat diperbuat. Ya, itulah semua."
Satu demi satu ucapannya bercekauan dalam hatiku. Dan kini kumandangnya lebih
menyayat terasa, lebih menusuk.
Aku jadi tak berani mengangkat kepalaku. Makin lama kian terkulai keseluruhan
adaku di dekatnya.
Matahari ketika itu sangat cerahnya. Bayangan pohon manggis bertelau-telau pada
rumput hijau.
Dan di kiriku dia duduk mengunjurkan kakinya. Kaki itu kaki yang dulu juga.
Kaki yang pernah menggodaku.
Sekarang kaki itu terhampar begitu saja. Dan aku tak dapat memandangnya
lama-lama,
karena kaki itu tidak berbicara apa-apa lagi bagiku kini. Dan perasaanku
tidak seperti dulu lagi.
Justru itulah yang menyebabkan aku merasa dipilukan perasaanku sendiri. Hendak
kuelus hatinya,
hendak kuceritakan sejarah hidup Helen Keller. Bahkan hendak kukatakan
juga, bahwa aku mau memeliharanya.
Memelihara dia? Tidak. Dan aku sudah punya dua anak. Agus dan Hafni. Ketika aku
sadar jalan itu buntu,
aku menyesali diriku sendiri. Juga menyesali segala yang sudah terjadi. Dan aku
tak bisa berdoa untuknya.
Doa serasa tak berharga kini. Tiap-tiap orang punya doa. Dan doa sekadar doa,
tak ada gunanya.
Maka aku merasa segalanya jadi terbang.
"Apa yang kaupikirkan?" tanyanya tiba-tiba.
Aku jadi gugup dan tersentak dari keterbanan perasaanku. Dan aku katakan, bahwa
aku sedang memikirkannya.
"Masa dipikirkan lagi," katanya. "Apa perlunya? Semua sudah
sewajarnya, bukan?"
"Apa?" tanyaku ragu-ragu.
"Kau memikirkan aku, kan?"
"Tidak setepat itu benar. Aku sedang memikirkan apa yang hendak
kulakukan."
"Untuk apa?"
"Untukmu."
"Sia-sia saja."
Tiba-tiba kuingat pada pusat rehabilitasi di Solo. Dan lalu kukatakan
kepadanya. Lama ia terdiam,
dan matanya seperti melangkaui segala apa yang dapat dilihatnya.
"Bagaimana? Setuju? Kalau kau setuju jangan kaupikir apa-apa. Aku yang
uruskan semua."
Tapi dia masih tiada memberi reaksi. Dan aku mendesak lagi.
"Kalau perlu ...Ah, tidak, Aku sendiri yang akan mengantarkan kau.
Barangkali tidak lama kau di sana,
kau sudah bisa pulang lagi. Dan selanjutnya kau sudah bisa berbuat sesuatu
lagi, seperti dulu."
Lalu ia memandang padaku. Dan tersenyum. Tapi senyumnya ini menusuk hatiku. Aku
jadi gugup.
"Mengapa kau tersenyum?" tanyaku dalam kehilangan keseimbangan
diriku.
"Mungkinkah orang seperti aku ini dapat berbuat sesuatu?" tanyanya
dengan suara yang lain sekali bunyinya. Begitu pahit.
Dan aku jadi ragu-ragu untuk meyakinkannya lagi. Lalu aku pura-pura tak mendengarkan
apa katanya.
Aku beri dia semangat yang bernyala-nyala, yang aku sendiri pada dasarnya
sudah tak percaya akan semangatku sendiri.
Dan dia tahu itu rupanya. "Kau sendiri tak yakin dengan ucapanmu.
Bagaimana mungkin aku meyakinkannya?" katanya.
"Tapi sedikitnya, kau lebih bisa berbuat banyak nantinya."
"Ya. Tentu saja. Seperti juga dulu, kan? Seperti dulu, seolah-olah kalau
tidak ada aku, semuanya seperti tidak akan sempurna,
semua pekerjaan seolah takkan selesai. Semua orang memerlukan tenagaku.
Semua orang jatuh cinta padaku.
Semua orang haus akan segala yang ada padaku. Tapi setelah itu, setelah itu apa
lagi?"
Aku tak merasa terpaan angin dari gunung itu lagi. Yang kurasakan terpaan
ucapannya pada mukaku,
karena terasa sebagai umpatan yang pahit tapi dicelup dengan tengguli.
"Kau kasihan padaku, bukan?"
"Kenapa tidak?"
"Ya. Tentu saja kau kasihan padaku. Karena kau merasa berdiri di tempat
yang sangat tinggi, sedang aku jauh di bawahmu.
Lalu dari tempat yang itu, kau memandang kepadaku, 'Oh, alangkah kecilnya
kau, Nun, katamu'."
Aku mau membantah. Tapi sebelum aku dapat memilih kata, dia berkata lagi.
"Seperti tadi saja.
Kalau bukan aku yang menyapamu, kau takkan tahu siapa aku, bukan? Sedang mata
pertamamu melihat aku tadi,
kau seolah melihat pengemis yang dijijiki. Alangkah cepatnya segalanya
berubah. Dan lebih cepat lagi seseorang melupakan seseorang lainnya, meski
pernah orang itu dicintanya."
Aku ingin memandangnya tepat, hendak mencoba menyatakan bahwa segalanya
mempunyai alasan-alasan tertentu.
Ingin aku menentang matanya, hendak meyakinkannya, seperti pernah
kulakukan dulu kepadanya.
"Meski bagaimana, aku tahu kau baik," katanya lagi.
"Ni Nun, Uni Nuuun," tiba-tiba seorang gadis kecil memanggil-manggil.
Dan panggilan yang tiba-tiba itu mencairkan impitan yang memberat antara kami.
"Ke mana Uni Nun? Melalar saja. Tidak tahu dibuntung awak,
" gadis kecil berkata lagi sambil memandang padaku dengan curiga dan
kebencian.
Aku jadi kaget, kalau gadis kecil semanis ini bisa bertingkah begitu terhadap
Nun.
Inikah lingkungan hidup Nun, pikirku. Di mana sedari kecil anak-anak telah
memandang Nun sebagai manusia tak berguna,
manusia yang sial. Kupandang wajah Nun yang berubah-ubah.
Tapi cepat-cepat disembunyikannya wajahnya itu dari pandanganku.
"Nenek memanggil. Cepatlah!" gadis itu memamer lagi.
"Tolong tegakkan aku. Aku mau ke Nenek," Nun berkata padaku dengan
suara dalam lehernya.
Dan kutolong dia berdiri. Tapi waktu itu aku jadi sentimental lagi,
melebihi tadi.
"Nenek sudah tua benar. Sudah lupa segalanya. Selain aku. Dan kalau aku
tak di dekatnya,
Nenek merasa kehilangan nyawa," katanya pula dan lalu pergi meninggalkan
aku yang tercenung.
Ketika ia mau membelok ke arah jalan raya, dia membalikkan badannya lagi ke
arahku dan berkata pula.
"Nenek tak bisa berpisah denganku. Antara kami berdua ada perpaduan nasib.
Dan Nenek ingin hidup lebih lama, karena dia tak hendak membiarkan aku hidup
sendirian."
Dia melangkah lagi. Tapi sebentar kemudian dia memaling lagi dan berkata,
"Tapi kalau Nenek sudah tak ada lagi,
aku juga tidak memerlukan apa-apa pula."
Lalu dia melangkah. Tapi sebelum dia hilang di balik belukar yang bergoyang ria
ditiup angin dari gunung itu,
kukatakan kepadanya, "Besok aku datang lagi ke sini, Nun."
Tapi dia tidak menoleh lagi. Hilang di balik belukar itu. Dan belukar itu
bertambah ria menari ditiup angin dari gunung.
Angin dari gunung yang meniup belukar hingga bergoyang dan menari ria
itu, angin itu juga yang meniup aku, meniup Nun,
dan meniup gadis kecil itu.