Rasa rindu menyelimuti hatiku yang sepi saat ini. Duduk di tempat
pertama kita bertemu. Duduk dimana saat-saat kita tertawa, berlarian,
bahkan menangis dan bertengkar. Mengenang sesuatu yang manis bercampur
pahit. Ya, enam tahun sudah berlalu sejak masa-masa SMA kita yang
menyenangkan. Persahabatan yang kita jalin bersama selama 3 tahun.
Aku memandang langit yang hampir gelap. Aku selalu ingin ke tempat
ini saat dimana aku ingat akan janji kita. “Setiap bulan purnama kita
harus kesini ya! Bulan purnama itu kan bulan yang kita semua suka, gue
gak mau tau gimana sibuknya loe, pokoknya setiap purnama kita harus
kumpul!”
Kalimat itu yang selalu aku ingat. Janji yang terucap sangat nyata.
Tapi, semuannya tidak mampu aku tepati. Ini adalah bulan purnama pertama
aku menepati janji itu. Berharap dia juga datang saat ini untuk
menepati janjinnya.
Langit gelap. Bulan mulai muncul sedikit demi sedikit menampakan
sinarnya yang indah. Bulat penuh. Aku merasakan desiran angin yang
lembut, cahaya bulan yang terang, walaupun hanya dengan lilin di
sebelahku. Aku tersenyum, air mata jatuh perlahan.
“Apa loe gak akan datang kali ini? Gue perlu minta maaf atas
ketidaktepatan janji gue…” Aku mengguman sendiri, menyalahkan diriku
sendiri yang baru bisa menepati janji.
1 jam aku duduk menatapi bulan, air mataku sudah kering. Aku tetap
berharap yang aku tunggu datang menghampiri aku. Sampai sebuah tangan
menjamah bahuku dari belakang. Aku seketika bangun dari dudukku dan
menoleh. Ya! Ini dia, seseorang yang aku tunggu selama enam tahun
setelah perpisahan itu. Maria! Aku merindukannya.
Aku tersenyum lebar melihat wajahnnya dan mencoba menyapanya, “Maria! Apa kabar? Maaf baru kali ini,” ucap ku.
Maria hanya diam lalu duduk bersila. Aku melihatnya aneh, dan aku mencoba mengikutinya untuk duduk.
“Enam tahun itu gak sebentar, Vika. Enam tahun itu berat banget buat
nepatin janji sendirian,” tiba-tiba Maria bicara dan membuat aku kaget.
“Mar, maafin gue. Gue gak pernah berniat untuk itu, gue kuliah di
Amerika dan itu gak dekat untuk gue bolak-balik. Apa loe gak mau
ngertiin gue?”
Maria tersenyum kaku mendengar penjelasku, “Gue ngertiin loe kok, Cuma kenapa loe baru balik sekarang? Enam tahun Vik…”
“Sory, gue bener-bener gak ada liburan. Sekarang gue udah wisuda! Gue
udah bisa terus disini Mar, sama loe! Gue janji kali ini gue gak akan
pergi jauh lagi!” ucapku antusias.
“Selamat!”
“Loe gak seneng dan masih marah sama gue?”
Maria menghela nafas panajang, “Setelah perpisahan itu, bulan purnama
pertama dan gue antusias banget untuk dateng dan duduk disini nunggu
elo. Lama. Jejak loe sama sekali gak ada dan gue yakin saat itu loe
bener-bener sedang sibuk. Purnama kedua gue coba lagi dan sama… loe gak
muncul. Purnama ketiga, keempat, kelima, sampe seterusnya loe gak
muncul. Gue sempat menyerah buat datang, tapi gue udah janji. Gue duduk
sendiri, ketawa, nangis, senyum, saat gue inget semua tentang kita. Gue
sering berfikir apa loe disana inget tentang kita? Gue sempet nyerah
banget tentang loe, tentang loe yang masih inget atau enggak tentang
kita. Lost contact dan gue bener-bener kehilangan jejak loe…”
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana tentang
itu semua. Aku hanya melihat wajah Maria yang pucat pasi dengan air mata
yang menetes. Aku gak kuat, dan aku memeluknnya sambil menangis.
“Maafin gue, gue gak bisa jadi sahabat yang baik buat loe! Gue gak bisa
menepati janji! Please, maafin gue! Gue janji saat ini gue akan jadi
sahabat loe yang dulu. Gue janji!” Maria melapaskan pelukanku.
“Enggak! Loe gak akan bisa Vik!”
“Maksud loe apa? Loe udah punya sahabat baru?”
“Enggak! Gue udah terlalu lama sakit banget Vik, enam tahun ini berat
banget buat gue nanggung ini sendirian. Gak ada satupun yang tahu betapa
susahnya! Gue sakit banget nahan ini sendirian Vik, sakit…” ucap Maria
sambil terisak, wajah pucatnnya semakin meyeramkan dengan isak tangis
dan air mata.
“Loe kenapa Mar? kenapa? Apa yang terjadi sama loe? Bilang sama gue!” tanyaku sambil sedikit berteriak.
Maria membalikan badannya ke arah ku. Dia menatap dalam-dalam ke
pelupuk mataku. Aku merasa di cekik oleh tatapan mata itu. Sesak. Aku
sesak melihat matannya. Mata yang sendu, sayu, lelah, sakit, dan penuh
tanda tanya besar. Semakin dia melihat mataku aku semakin sesak, sangat
sesak. Dia menggerakan tangannya, menyentuh rambutnya dan blas!! Aku
membelalakan mataku, bibirku terbuka keras. Rambutnya… rambut indahnnya
yang dulu hilang. Kepalannya botak.
“Loe liat? Ini gue yang sekarang, gue yang botak, gue sakit, gue yang sebentar lagi bakalan mati!”
“Maksud loe… maksud loe apaan Mar?” tanya ku dengan penuh ketakutan.
Maria tersenyum miris, “Loe masih nanya? Gue leukemia. Stadium akhir.
Sebentar lagi gue mati!” ucapan itu menghantam aku ke sebuah tembok
besar. Aku merasa aliran darahku berhenti sekarang, dadaku sesak,
nafasku berpacu cepat, dan aku tak mampu bicara kali ini.
“Udah enam tahun ini gue Vik, udah lama banget gue nahan sakit ini
sendiri! Gue binggung kenapa tuhan gak langsung cabut aja nyawa gue?!
kenapa tuhan harus botakin kepala gue dulu? Kenapa harus kasih gue obat
yang banyak banget? Kenapa harus suruh gue terapi yang bikin seluruh
tubuh gue ini rasanya sakit banget?! Kenapa Vik?!! Kenapa?!!!” Maria
menjadi histeris, suaranya membesar, air matanya jatuh, dia terisak
seperti orang gila. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Aku
memeluknnya erat saat ini, sangat erat.
“Stop, Mar!!! loe jangan kayak gini dong! Gue tahu perasaan loe, loe tenang dulu Mar!!!”
Maria mulai tenang namum isakannya masih terdengar lirih, aku mencoba
menghiburnya saat ini. Mencoba membuatnnya melupakan sakitnnya saat
ini. Aku melepaskan pelukanku, memandang bulan purnama.
“Mar, sekarang loe liat deh bulan purnama itu. Terang banget kan?
Rasanya tenang banget kalau ngeliatnnya. Ya gak?” Maria hanya diam, dan
memakai wignya kembali.
Aku tersenyum, “Loe masih cantik kok walaupun dengan wig itu,”
“Thanks Vik. Gue takut ini bulan purnama terakhir yang gue lihat,”
“Loe gak boleh ngomong gitu, tuhan udah siapin rencana yang indah buat
loe kok, loe harus yakin itu. Loe gak boleh nyalahin siapapun, semua
udah ada jalannya Mar,”
“Ya, jalan gue yang buruk, jalan gue yang digantung. Gue gak tahu sampai
kapan gue harus menahan sakit ini. Gue capek banget. Tapi, loe tahu gak
Vik? Gue selalu takut kalau saat ini gue gak bisa lihat bulan purnama
lagi. Setiap purnama gue selalu kesini dan rasa takut kalau ini yang
terakhir selalu datang menghampiri gue Vik,”
“Gue tahu rasa takut loe Mar, loe harus tahan ya? Gue yakin loe bisa
bertahan, loe itu kan kuat banget! Heheh,” ucapku sambil tersenyum.
Maria tersenyum, dan kali ini senyumnnya sangat indah. Ya, senyum sahabatku yang sangat aku rindukan.
“Vika, hari ini gue mau disini semalaman. Gue mau lihat bulan purnama
sama loe untuk yang pertama kalinya lagi dan mungkin terakhir kalinya
buat gue,” seketika air mataku jatuh aku tak mampu bicara, hanya
mengangguk dan tersenyum.
Malam ini aku dan Maria tidur di atas pasir pantai diiringi desiran
angin dan suara ombak yang keras. Bercerita kenangan masa lalu,
bercerita bagaimana dulu kita yang berbagi, bagaimana dulu kita
bercanda, sampai mataku terasa berat dan aku terlelap.
—
Pagi ini aku disambut oleh deburan ombak, aku membuka mataku dengan
berat dan bangkit dari posisi tidurku. Sepi! Aku terkejut melihat hanya
aku sendiri disini. Maria dimana? Kapan dia pergi? Banyak tanda tanya di
kepalaku saat ini, sampai aku menemukan sebuah amplop yang ditindih
batu tepat di sebelahku, tempat dimana Maria tidur kemarin.
“Jangan baca surat ini sebelum loe tahu dimana gue” apa-apaan ini?
Kenapa dia seperti ini? Ada apa ini? Aku berjalan cepat ke mobilku dan
melajukan ke arah rumah Maria karena hanya itu yang aku tahu.
Aku turun dari mobil tepat di depan rumah besar yang sangat aku
kenal. Darahku mengalir cepat, dadaku sesak sangat sesak, dan kakiku
lunglai. Bendera kuning itu membuat seluruh tubuhku kaku saat ini. Aku
menyeret kakiku yang kaku untuk memasuki rumah besar itu. Melihat sebuah
peti yang dikelilingi oleh banyak orang, menangis, aku sontak menangis
histeris dan berlari kearah peti.
“MARIAAAA!!! KENAPA?! KENAPA LOE NINGGALIN GUE SECEPAT INI?!!!
KENAPA?!!!” aku seperti orang kesetanan saat melihat tubuh Maria
terbujur kaku di dalam peti. Semua orang menahanku, memelukku, dan aku
yang tak tahan langsung lunglai dan terjatuh. Gelap. Semua hanya gelap.
—
Aku duduk di tempat terakhir ini. Di pantai ini. Di tempat bulan
purnama ini. Ini bulan purnama selanjutnnya setelah kepergian Maria. Ya,
aku belum membuka suratnya karena menunggu bulan purnama.
Aku duduk diam memandang langit dengan tatapan kosong, bulan sudah
nampak, aku menghidupkan lilin di sebelah ku, tepat di tempat Maria dulu
duduk. Sebelumnnya mama Maria juga memberikan aku sebuah buku. Buku
persahabatan kita.
Aku membuka perlahan surat yang Maria tulis,
To : Vika
Bulan purnama. Gue tahu saat loe baca surat ini pasti loe lagi lihat
bulan purnama. Sory ya gue ninggalin loe sendiri, gue sakit banget saat
itu, dan gue udah gak tahan. Saat itu gue tahu bahwa itu bulan purnama
gue yang terakhir Vik, makannya gue gak mau membujur kaku di sebelah
loe.
Vika, gue baru tahu kenapa selama enam tahun ini tuhan membiarkan gue
bertahan dalam sakit gue, karena tuhan pengen mempertemukan gue sama
loe sebelum gue mati Vik. Gue baru sadar Vik, kalau tuhan sayang banget
sama gue, dia gak mau gue mati sia-sia sebelum ketemu sama seseorang
yang sangat berharga buat gue.
Vika, maafin gue gak bisa jadi sahabat loe yang nyata saat ini,
maafin gue gak bisa hidup lebih lama buat jadi tempat tertawa dan
menangis loe. Maafin gue karena gue udah gak mampu bertahan buat loe.
Gue janji di kehidupan mendatang gue akan hidup lebih lama buat loe,
buat nebus kepergian gue yang secepat ini.
Vika, loe mesti janji sama gue jangan pernah lupain gue dan
persahabatan kita. Dan loe juga harus janji jangan larut sama gue dan
persahabatan kita. Loe mesti cari pacar dan menikah. Kalau perlu cari
sahabat baru dan jangan yang penyakitan seperti gue. Karena gue gak mau
loe ditinggal sia-sia lagi.
Take care! Gue sayang loe, sayang banget! Oya, gue juga nitipin buku
persahabatan kita yang loe suruh gue untuk jaga, sekarang tugas gue
untuk jaga buku ini udah selesai, gue serahin ke loe, jaga baik-baik
Selamat tinggal sahabat. Gue janji akan menjadi sahabat loe lagi di kehidupan yang akan datang
From : Maria
Air mataku tak kunjung berhenti menetes, sesak membaca semuannya. Aku
membuka buku persahabatan kita. Penuh coretan, curhatan, dan penuh
kenangan indah saat masa-masa itu. Aku melihat setiap lembarnnya, setiap
lembar kenangan yang akan aku jaga hingga akhir hayatku nanti.
“Maria, gue janji akan jaga buku ini dan persahabatan kita. Gue
sayang loe. Gue juga akan nunggu loe di kehidupan yang akan datang. Dan,
kita aku memulai persahabatan yang panjang saat itu.” Aku menutup buku
persahabatan kita memandang bulan purnama yang bersinar terang.
Udara mulai menusuk ke dalam tulangku, aku bangkit dari dudukku. Tersenyum.
“Selamat tinggal Maria, gue akan sabar menunggu untuk masa yang akan
datang.” Aku berjalan meninggalkan tempat itu. Tempat dimana dimulainnya
persahabatan dan berakhirnya juga persahabatan. Ya, aku yakin masa yang
akan datang tempat ini akan menjadi tempat aku dan dia bertemu kembali.
Aku berjalan menuju mobilku, seketika aku berbalik, lilinnya padam
tertiup angin. Aku tersenyum melihatnnya, melihat bahwa Maria sudah
benar-benar pergi saat ini. Pergi terbawa angin dan melihat bulan
purnama dengan sangat dekat.
Read More ->>