Sabtu, 28 September 2013

Impian Anak Kampung


Impian Anak Kampung

        
         Di pagi yang cerah Anugrah bergegas menyiapkan pakaian dan peralatan sekolah, Anugrah begitu bersemangat pagi itu karena ada pelajaran yang sangat ia sukai, yakni olahraga.
Ketika tiba di sekolah, Anugrah diberitahu kawannya bahwa di Kabupaten sedang dibuka pendaftaran klub sepak bola dari Jakarta. Mendengar kabar tersebut Anugrah merasa gembira karena cita-cita yang didambakan sudah terbuka lebar. Namun Anugrah harus menelan pil pahit, persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon peserta klub harus memiliki sepatu bola dengan merk tertentu yang berharga mahal. Hal itu sangat disadari Anugrah tidak akan mampu terpenuhi, karena latar belakang keluarga Anugrah yang memiliki orang tua hanya seorang buruh.
Dalam batin Anugrah terus berharap akan bisa memenuhi persyaratan klub dari Jakarta tersebut, sampai tak sadar tangan Pak Wisma menepuk pundak Anugrah dan membuyarkan lamunannya. Pak Wisma lalu duduk dan bertanya akan perubahan sikap Anugrah hari itu. Anugrah menjawab sedih bahwa dirinya tidak bisa mengikuti pendaftaran klub dari Jakarta karena tak mampu membeli sepatu. Pak Wisma mencoba menenangkan kegalauan Anugrah, dan menyarankan untuk berbicara dengan orangtuanya. Anugrah merasa tak yakin dengan saran Pak Wisma, namun tak ada pilihan lain yang harus dilakukan.
Sepulang sekolah Anugrah melaksanakan saran Pak Wisma untuk membicarakan keinginannya kepada kedua orang tua Anugrah. Anugrah memelas dan orang tuanya pun memahami keinginan Anugrah yang begitu besar. Dalam keterbatasan orang tua Anugrah terpaksa harus menuruti keinginan putranya dengan menjual kambing yang hanya satu-satunya. Keceriaan Anugrah terlihat kembali ketika orang tuanya memberikan sejumlah uang untuk dibelikannya sepatu.
Keesokan harinya dengan berlari Anugrah berangkat ke sekolah dengan semangat yang berlipat ganda. Ketika bertemu dengan Pak Wisma, Anugrah mengajaknya untuk membeli sepatu di kota, Pak Wisma dengan senang hati mengantarnya. Namun kenyataan berbicara lain, uang hasil jual kambing orang tua Anugrah masih belum cukup untuk membeli sepatu yang ada di kota. Kini Pak Wisma merasa iba kepada Anugrah, ia pun terpaksa meminjam uang ke sekolah untuk mencukupi harga sepatu Anugrah dengan jaminan honornya.
Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, pendaftaran klub dari Jakarta yang ada di Kabupaten sudah tutup sejak kemarin. Anugrah gontai melangkah, impian yang ia kira sudah terbuka lebar kini tertutup rapat kembali, dan Anugrah harus sabar menunggu kesempatan itu datang lagi.

Read More ->>

Penantian di Bagian Halte


Penantian di Bagian Halte

                 Subuh ini aku mulai menulis kembali. Berani menyita semua waktu tidurku untuk menceritakan kembali tentangmu disana. Aku, saat ini merasakan bahwa kehadiranmu sungguh ada dan duduk di sampingku. Memberikan sedikit cibiran khas, menyipitkan mata, dan tertawa ntah kenapa. Tapi rasanya aneh jika bayangan ku itu harus bergelut dengan kenyataan bahwa kau, ada disana bersama wanita lain, duduk dan bercanda manis dengannya.
Membelai rambutnya hingga aku merasa bahwa aku sangat kesal, aku harus melihat ini dan menerimanya. Aku harus menahan sakit walaupun aku tidak dihiraukan. Sebagai penonton seharusnya aku mampu menangisi apa yang aku lihat. Karena kalian tidak akan perduli.
Begini atau bagaimanapun aku.
Rasanya hari tanpa membicarakanmu tak wajar. Rasanya tanpa bergelut dengan laptop setiap waktu tanpa memperbincangkanmu juga tak wajar. Kamu bukan sebagian dari hidupku lagi. Tapi kamu masih bagian dari hatiku. Apa kau ingat saat aku memilih untuk pergi meninggalkanmu di halte bus itu? Seharusnya hari itu duduk di sampingmu. Melewati beberapa menit yang akan berlalu sebelum aku menginjakkan kaki di rumah dan memulai beberapa jam hingga malam tanpamu. Tapi aku juga tidak mampu untuk bersamamu berjam-jam di bus itu dengan wanita lain. Wanita yang lebih dari biasanya aku lihat. Dia bukan teman kita, mengapa kamu harus mengenalnya? Dan kenapa kamu harus mengenalinya padaku?
Setelah hari aku memulai untuk pulang sendiri itu aku sadar. Bahwa aku mencintaimu, aku cemburu. Tapi aku salah, kenapa aku harus menaruh hati padamu? Pada orang yang jelas-jelas juga tidak mencintaiku. Mungkin.
Di hari berikutnya, aku merasa enggan meninggalkan halte itu. Banyak cerita yang kita parut dan habiskan bersama. Walaupun dalam jangka yang pelan dan sebentar. Rasanya tidak tega kepada halte yang sudah baik mau memberikan aku tempat untuk mencintaimu, memperhatikanmu secara diam-diam dan sekarang malah ku tinggalkan begini saja? Aku tidak ingin menjadi orang yang berbeda setelah sesuatu berubah sepertimu. Sejak kau mengenalnya kau hanya akan berfikir bagaimana menghabiskan waktu untuk hanya sekedar melambaikan tangan pada wanita berkaca mata itu?
Kamu belum tau rasanya aku ketika kamu menanyakan, “aku harus pakai alasan apa lagi ya untuk menemui Kristin nanti?”.
Oh jadi nama wanita berkaca mata itu Kristin, baiklah sekarang aku hanya ingin menemui wanita itu dan menjabat tangannya. Memberikan ucapan terima kasih karena sudah menjadi media lain untuk zain merasakan kenyamanan.
Perasaan tak terbalaskan itu tidak ada gunanya. Bagi semua orang yang merasakan ini. Aku susah payah menunggumu hanya untuk pulang bergandengan, sedangkan kamu berlari mencari wanita itu. Lalu aku bisa apa? Halte itu kusam, tanpa aku dan kamu seperti biasa. Tanpa kita yang perduli dengannya. Membersihkannya dengan canda tawa yang meledak. Sengaja kita ledakkan.
Di antara kekecewaan yang aku rasakan ini, apakah kamu tak pernah ingin bertanya “hari apa yan paling membuatmu kesal dil? Apakah ada?” dari dulu aku menunggu pertanyaan itu.
Dan aku ingin menjawab dengan nada lantang dan tegas…
Ada! Apa kamu ingat saat pulang sekolah kamu menawarkanku untuk pulang bersama seperti biasa dan bilang bahwa “aku kangen loh waktu-waktu kita pulang bareng kayak dulu”.
Disana, mungkin karena cintaku ini terlalu lembut, sehingga mampu kamu mainkan dengan perbincangan anak-anak. Perbincangan laki-laki yang hanya ingin menyakiti dan memakai kata “kangen”. Aku juga merindukanmu, lalu aku bisa apa ketika kamu berbicara itu? Jelas aku menerima tawaranmu. Ternyata, bukan hanya tawaran itu yang kamu suguhkan, kamu juga bilang “hari ini aku mau ngajakin kamu makan dil. Mau kan?”
Wanita mana yang ingin menyia-nyiakan rasa kebersamaan yang akhir-akhir ini hampir punah karena dengan adanya orang lain di antara mereka? Jelas saja aku menerimanya. Siang itu kamu juga membawaku untuk pergi ke sebuah café pilihanmu. Aku mengikut saja, asal adanya kamu aku akan merasakan semuanya baik.
Tapi aku merasa ingin pergi dengan tangisan ketika aku melihat di meja sana, di meja yang tertera angka 11 itu ada wanita berkaca mata yang selama ini aku benci.
Kristin, kenapa wanita itu sudah pindah habitat kesini? Sengaja ingin mencemburui ku?
Tampaknya ia melambaikan tangan kepada zain, benar sudah kan apa yang aku bilang? Datang kesini hanya akan membuat aku mati dalam kecemburuan hanyut dalam penyesalan.
“kita duduk di meja 11 zain?” kataku dengan menyembunyikan rasa kesalku.
“iya, kita makan bareng Kristin. Tadi dia minta aku ngajak kamu” jawabmu sambil tersenyum.
Dia minta aku ngajak kamu? Sebenarnya kehadiranku lebih tidak diinginkan oleh zain ternyata. Ia hanya terpaksa dengan alasan kasihan mungkin. Duduk disana, di meja 11. Berhadapan dengan Kristin, wanita berkaca mata berkulit putih dan sipit itu, iya memang berkesan wanita cina. Tapi aku tidak mungkin memakai alasan “aku ke belakang sebentar ya…” toh nantinya juga aku akan kembali di meja itu.
Agak terjepit dengan rasa cemburu juga ketika kamu dan dia memilih menu secara bersamaan dan menu yang sama. Melihat itu selera makanku hilang, sudah kenyang dengan senyuman pahit mereka berdua. Memangnya jika aku marah semuanya akan berada pada posisi yang aku inginkan? Tidakkan? Lebih baik diam. Mungkin pilihan yang menyakitkan, tapi lebih baik begitu.
Kamu beranjak pergi ntah kemana, wanita berkaca mata itu mendekatiku. Ia sedikit tersenyum lalu menunduk. Kemudian menatap ku, “kamu cemburu?” katanya.
Ah tuhan, terbacakah semua yang aku lakukan ini? Terbacakah semua dari sorotan mata ini?
Perih. Aku bersikap cuek, mengenal wanita ini tidak pernah aku inginkan. Duduk makan siang bersamanya dan melihat ia menatapku dengan penuh keseriusan ini juga tak pernah kubayangkan.
Lagi, ia tersenyum melihatku.
Ia menggenggam tanganku penuh rasa sahabat.
“jangan cemburu hingga membenciku begitu. Aku tidak mencintainya dil…” semua berubah. Aku diam dia tertawa, aku mulai berfikir bahwa aku ingin membunuhnya jika ia berbohong. “jangan menatapku seperti ingin membunuh begitu, aku tidak mencintainya dil..” lanjutnya lembut.
“Selama ini kami dekat, kami ini adalah tetangga. Dan lebih dekatnya kami adalah sepupu jauh, kami baru beberapa kali bertemu dan sepertinya memang kami cocok.” Cocok? Sakit. “bukan cocok sebagaimana kamu dan zain, tapi kami memang cocok untuk sharing. Selama ini kami memang banyak bersama, itu karena sesuatu yang pantas kamu dapatkan. Jangan takut kehilangan dia” jelasnya.
Melihat itu, aku berani untuk menjelaskan…
“aku sudah lama menunggu zain, bukan sebentar tapi dalam waktu yang lama. Itungan tahun, dari SD juga aku menyukainya, tapi aku belum berani untuk menegaskan bahwa aku mencintainya. Seiring waktu, kami juga selalu dapat sekolah yang sama aku mulai berani untuk jujur terhadap hari-hari ku, bahwa aku hampa tanpa zain. Aku belum pernah ingin mengubur rasaku kepadanya hidup-hidup. Tapi rasa ini tidak pernah mati, tapi setelah melihat kalian aku ingin mematikan ini semua.” Rasanya tidak salah jika aku menangis dalam kepasrahan. Aku juga sudah jujur semuanya.
“aku juga sudah lama. Tapi hari ini aku ingin menghidupkan lagi semuanya dil” suara lelaki. Ini bukan Kristin yang berbicara. Suaranya dekat dan sangat dekat dengan telingaku, ia berbisik. “hari ini, ingat saja di meja nomor 11 tanggal 11. Aku ingin memberikanmu kado, mengganti ketidak hadiranku malam kemarin untuk menyiapkan hari ini.” Suaranya tegas berdiri di belakangku.
Aku tidak berani untuk menengok ke belakang, aku belum sanggup menjadi orang yang sangat bodoh ketika tahu itu hanya bayangan saja. Tapi tunggu, aku belum pernah membayangkan ini. Lalu ia memegang pundakku mencubit bahuku dan membalikkan badanku. Sakit ..
“maaf aku mencubitmu, aku hanya ingin membangunkanmu dan berbicara bahwa ini bukan bayangan ini aku zain yang juga sudah bertahun-tahun bersama mu dan bersama perasaan kita. Aku mencintaimu dil.”
Aku bisa apa ketika kau membalas perasaanku dengan begitu tegas? Aku bisa menangis dalam kebodohan. Kecemburuan bukan berarti masalah untuk suatu hubungan yang aku inginkan. Tapi bagaimana caranya menunggu dan saling meyakinkan bahwa kita sama, kita satu dan akan datang waktunya untuk kembali menyempurnaan perasaan kita dengan suatu hubungan. Jangan berfikir bahwa kita menunggu itu sendiri, jika dia belum mampu membalas setidaknya kita menunggu berdua dengan perasaan murni ini untuknya. Dan ya mungkin seperti ini, tanpa kita sadari .. kita saling menunggu dalam kebisuan. Indah …

 

Read More ->>

sword art online


Lihat juga : Daftar Sword Art karakter online
Pada tahun 2022, Virtual Reality Massively Multiplayer permainan Role-Playing online ( VRMMORPG ) , Sword Art Online ( SAO ) , dilepaskan . Dengan Gear Nerve , helm virtual reality yang merangsang pengguna panca indera melalui otak mereka , pemain dapat mengalami dan mengontrol karakter dalam game mereka dengan pikiran mereka .
Pada tanggal 6 November 2022 semua pemain log in untuk pertama kalinya , dan kemudian menemukan bahwa mereka tidak dapat log out . Mereka kemudian diberitahu oleh Kayaba Akihiko , pencipta SAO , bahwa jika mereka ingin bebas , mereka harus mencapai lantai 100 menara permainan dan mengalahkan bos terakhir . Namun, jika avatar mereka meninggal dalam game , tubuh mereka akan mati juga di dunia nyata . Cerita berikut Kirito , pemain terampil yang bertekad untuk mengalahkan permainan . Karena permainan berlangsung selama dua tahun , Kirito akhirnya berteman pemain wanita bernama Asuna dengan siapa akhirnya ia jatuh cinta . Setelah duo menemukan identitas Kayaba avatar di SAO , mereka menghadapi dan mengalahkan dia , membebaskan diri mereka sendiri dan pemain lain dari permainan.
Setelah kembali ke dunia nyata , Kirito belajar Asuna itu dan 300 pemain SAO lainnya masih belum terbangun belum . Setelah petunjuk tentang keberadaan Asuna di VRMMORPG lain yang disebut Alfheim online ( ALO ) , Kirito juga log in di sana. Dibantu oleh adik Suguha , yang dikenal sebagai Leafa dalam permainan , dia mengetahui bahwa para pemain terjebak dalam ALO adalah bagian dari rencana yang dibuat oleh Nobuyuki Sugo untuk melakukan eksperimen ilegal di pikiran mereka untuk menempatkan mereka di bawah kekuasaannya , termasuk Asuna , yang ia bermaksud untuk menikah di dunia nyata dalam rangka untuk mengambil alih perusahaan keluarganya . Setelah Kirito berhenti rencana Nobuyuki , ia akhirnya reuni dengan Asuna di dunia nyata .
Segera setelah itu, Kirito memainkan permainan lain yang disebut Gun Gale online ( GGO ) untuk menyelidiki hubungan misterius antara itu dan kematian yang terjadi di dunia nyata . Dibantu oleh pemain wanita ia bertemu dalam permainan yang disebut Sinon , ia mengidentifikasi dan mengekspos para pelaku , yang mencakup beberapa mantan anggota serikat pembunuh yang sebelumnya dia temui di SAO .
Kirito ini kemudian direkrut untuk membantu dalam pengembangan permainan state-of - the-art , UNDERWORLD ( UW ) , yang memiliki antarmuka yang jauh lebih realistis dan kompleks daripada game sebelumnya ia bermain . Di UW , aliran waktu berlangsung seribu kali lebih cepat daripada di dunia nyata . Namun, ia akhirnya jatuh ke dalam perangkap yang ditetapkan oleh salah satu pembunuh dari GGO dan bangun dalam permainan , tidak dapat log out , dengan diri sebenarnya ditinggalkan dalam keadaan koma . Akhirnya ia mulai mempertanyakan apakah ia adalah Kirito nyata atau kecerdasan buatan model setelah dia.


Nih kalo belum tau film nya 


 
Read More ->>

Kenangan

 

Kenangan


Rasa rindu menyelimuti hatiku yang sepi saat ini. Duduk di tempat pertama kita bertemu. Duduk dimana saat-saat kita tertawa, berlarian, bahkan menangis dan bertengkar. Mengenang sesuatu yang manis bercampur pahit. Ya, enam tahun sudah berlalu sejak masa-masa SMA kita yang menyenangkan. Persahabatan yang kita jalin bersama selama 3 tahun.
Aku memandang langit yang hampir gelap. Aku selalu ingin ke tempat ini saat dimana aku ingat akan janji kita. “Setiap bulan purnama kita harus kesini ya! Bulan purnama itu kan bulan yang kita semua suka, gue gak mau tau gimana sibuknya loe, pokoknya setiap purnama kita harus kumpul!”
Kalimat itu yang selalu aku ingat. Janji yang terucap sangat nyata. Tapi, semuannya tidak mampu aku tepati. Ini adalah bulan purnama pertama aku menepati janji itu. Berharap dia juga datang saat ini untuk menepati janjinnya.
Langit gelap. Bulan mulai muncul sedikit demi sedikit menampakan sinarnya yang indah. Bulat penuh. Aku merasakan desiran angin yang lembut, cahaya bulan yang terang, walaupun hanya dengan lilin di sebelahku. Aku tersenyum, air mata jatuh perlahan.
“Apa loe gak akan datang kali ini? Gue perlu minta maaf atas ketidaktepatan janji gue…” Aku mengguman sendiri, menyalahkan diriku sendiri yang baru bisa menepati janji.
1 jam aku duduk menatapi bulan, air mataku sudah kering. Aku tetap berharap yang aku tunggu datang menghampiri aku. Sampai sebuah tangan menjamah bahuku dari belakang. Aku seketika bangun dari dudukku dan menoleh. Ya! Ini dia, seseorang yang aku tunggu selama enam tahun setelah perpisahan itu. Maria! Aku merindukannya.
Aku tersenyum lebar melihat wajahnnya dan mencoba menyapanya, “Maria! Apa kabar? Maaf baru kali ini,” ucap ku.
Maria hanya diam lalu duduk bersila. Aku melihatnya aneh, dan aku mencoba mengikutinya untuk duduk.
“Enam tahun itu gak sebentar, Vika. Enam tahun itu berat banget buat nepatin janji sendirian,” tiba-tiba Maria bicara dan membuat aku kaget.
“Mar, maafin gue. Gue gak pernah berniat untuk itu, gue kuliah di Amerika dan itu gak dekat untuk gue bolak-balik. Apa loe gak mau ngertiin gue?”
Maria tersenyum kaku mendengar penjelasku, “Gue ngertiin loe kok, Cuma kenapa loe baru balik sekarang? Enam tahun Vik…”
“Sory, gue bener-bener gak ada liburan. Sekarang gue udah wisuda! Gue udah bisa terus disini Mar, sama loe! Gue janji kali ini gue gak akan pergi jauh lagi!” ucapku antusias.
“Selamat!”
“Loe gak seneng dan masih marah sama gue?”
Maria menghela nafas panajang, “Setelah perpisahan itu, bulan purnama pertama dan gue antusias banget untuk dateng dan duduk disini nunggu elo. Lama. Jejak loe sama sekali gak ada dan gue yakin saat itu loe bener-bener sedang sibuk. Purnama kedua gue coba lagi dan sama… loe gak muncul. Purnama ketiga, keempat, kelima, sampe seterusnya loe gak muncul. Gue sempat menyerah buat datang, tapi gue udah janji. Gue duduk sendiri, ketawa, nangis, senyum, saat gue inget semua tentang kita. Gue sering berfikir apa loe disana inget tentang kita? Gue sempet nyerah banget tentang loe, tentang loe yang masih inget atau enggak tentang kita. Lost contact dan gue bener-bener kehilangan jejak loe…”
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana tentang itu semua. Aku hanya melihat wajah Maria yang pucat pasi dengan air mata yang menetes. Aku gak kuat, dan aku memeluknnya sambil menangis.
“Maafin gue, gue gak bisa jadi sahabat yang baik buat loe! Gue gak bisa menepati janji! Please, maafin gue! Gue janji saat ini gue akan jadi sahabat loe yang dulu. Gue janji!” Maria melapaskan pelukanku.
“Enggak! Loe gak akan bisa Vik!”
“Maksud loe apa? Loe udah punya sahabat baru?”
“Enggak! Gue udah terlalu lama sakit banget Vik, enam tahun ini berat banget buat gue nanggung ini sendirian. Gak ada satupun yang tahu betapa susahnya! Gue sakit banget nahan ini sendirian Vik, sakit…” ucap Maria sambil terisak, wajah pucatnnya semakin meyeramkan dengan isak tangis dan air mata.
“Loe kenapa Mar? kenapa? Apa yang terjadi sama loe? Bilang sama gue!” tanyaku sambil sedikit berteriak.
Maria membalikan badannya ke arah ku. Dia menatap dalam-dalam ke pelupuk mataku. Aku merasa di cekik oleh tatapan mata itu. Sesak. Aku sesak melihat matannya. Mata yang sendu, sayu, lelah, sakit, dan penuh tanda tanya besar. Semakin dia melihat mataku aku semakin sesak, sangat sesak. Dia menggerakan tangannya, menyentuh rambutnya dan blas!! Aku membelalakan mataku, bibirku terbuka keras. Rambutnya… rambut indahnnya yang dulu hilang. Kepalannya botak.
“Loe liat? Ini gue yang sekarang, gue yang botak, gue sakit, gue yang sebentar lagi bakalan mati!”
“Maksud loe… maksud loe apaan Mar?” tanya ku dengan penuh ketakutan.
Maria tersenyum miris, “Loe masih nanya? Gue leukemia. Stadium akhir. Sebentar lagi gue mati!” ucapan itu menghantam aku ke sebuah tembok besar. Aku merasa aliran darahku berhenti sekarang, dadaku sesak, nafasku berpacu cepat, dan aku tak mampu bicara kali ini.
“Udah enam tahun ini gue Vik, udah lama banget gue nahan sakit ini sendiri! Gue binggung kenapa tuhan gak langsung cabut aja nyawa gue?! kenapa tuhan harus botakin kepala gue dulu? Kenapa harus kasih gue obat yang banyak banget? Kenapa harus suruh gue terapi yang bikin seluruh tubuh gue ini rasanya sakit banget?! Kenapa Vik?!! Kenapa?!!!” Maria menjadi histeris, suaranya membesar, air matanya jatuh, dia terisak seperti orang gila. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Aku memeluknnya erat saat ini, sangat erat.
“Stop, Mar!!! loe jangan kayak gini dong! Gue tahu perasaan loe, loe tenang dulu Mar!!!”
Maria mulai tenang namum isakannya masih terdengar lirih, aku mencoba menghiburnya saat ini. Mencoba membuatnnya melupakan sakitnnya saat ini. Aku melepaskan pelukanku, memandang bulan purnama.
“Mar, sekarang loe liat deh bulan purnama itu. Terang banget kan? Rasanya tenang banget kalau ngeliatnnya. Ya gak?” Maria hanya diam, dan memakai wignya kembali.
Aku tersenyum, “Loe masih cantik kok walaupun dengan wig itu,”
“Thanks Vik. Gue takut ini bulan purnama terakhir yang gue lihat,”
“Loe gak boleh ngomong gitu, tuhan udah siapin rencana yang indah buat loe kok, loe harus yakin itu. Loe gak boleh nyalahin siapapun, semua udah ada jalannya Mar,”
“Ya, jalan gue yang buruk, jalan gue yang digantung. Gue gak tahu sampai kapan gue harus menahan sakit ini. Gue capek banget. Tapi, loe tahu gak Vik? Gue selalu takut kalau saat ini gue gak bisa lihat bulan purnama lagi. Setiap purnama gue selalu kesini dan rasa takut kalau ini yang terakhir selalu datang menghampiri gue Vik,”
“Gue tahu rasa takut loe Mar, loe harus tahan ya? Gue yakin loe bisa bertahan, loe itu kan kuat banget! Heheh,” ucapku sambil tersenyum.
Maria tersenyum, dan kali ini senyumnnya sangat indah. Ya, senyum sahabatku yang sangat aku rindukan.
“Vika, hari ini gue mau disini semalaman. Gue mau lihat bulan purnama sama loe untuk yang pertama kalinya lagi dan mungkin terakhir kalinya buat gue,” seketika air mataku jatuh aku tak mampu bicara, hanya mengangguk dan tersenyum.
Malam ini aku dan Maria tidur di atas pasir pantai diiringi desiran angin dan suara ombak yang keras. Bercerita kenangan masa lalu, bercerita bagaimana dulu kita yang berbagi, bagaimana dulu kita bercanda, sampai mataku terasa berat dan aku terlelap.

Pagi ini aku disambut oleh deburan ombak, aku membuka mataku dengan berat dan bangkit dari posisi tidurku. Sepi! Aku terkejut melihat hanya aku sendiri disini. Maria dimana? Kapan dia pergi? Banyak tanda tanya di kepalaku saat ini, sampai aku menemukan sebuah amplop yang ditindih batu tepat di sebelahku, tempat dimana Maria tidur kemarin.
“Jangan baca surat ini sebelum loe tahu dimana gue” apa-apaan ini? Kenapa dia seperti ini? Ada apa ini? Aku berjalan cepat ke mobilku dan melajukan ke arah rumah Maria karena hanya itu yang aku tahu.
Aku turun dari mobil tepat di depan rumah besar yang sangat aku kenal. Darahku mengalir cepat, dadaku sesak sangat sesak, dan kakiku lunglai. Bendera kuning itu membuat seluruh tubuhku kaku saat ini. Aku menyeret kakiku yang kaku untuk memasuki rumah besar itu. Melihat sebuah peti yang dikelilingi oleh banyak orang, menangis, aku sontak menangis histeris dan berlari kearah peti.
“MARIAAAA!!! KENAPA?! KENAPA LOE NINGGALIN GUE SECEPAT INI?!!! KENAPA?!!!” aku seperti orang kesetanan saat melihat tubuh Maria terbujur kaku di dalam peti. Semua orang menahanku, memelukku, dan aku yang tak tahan langsung lunglai dan terjatuh. Gelap. Semua hanya gelap.

Aku duduk di tempat terakhir ini. Di pantai ini. Di tempat bulan purnama ini. Ini bulan purnama selanjutnnya setelah kepergian Maria. Ya, aku belum membuka suratnya karena menunggu bulan purnama.
Aku duduk diam memandang langit dengan tatapan kosong, bulan sudah nampak, aku menghidupkan lilin di sebelah ku, tepat di tempat Maria dulu duduk. Sebelumnnya mama Maria juga memberikan aku sebuah buku. Buku persahabatan kita.
Aku membuka perlahan surat yang Maria tulis,
To : Vika
Bulan purnama. Gue tahu saat loe baca surat ini pasti loe lagi lihat bulan purnama. Sory ya gue ninggalin loe sendiri, gue sakit banget saat itu, dan gue udah gak tahan. Saat itu gue tahu bahwa itu bulan purnama gue yang terakhir Vik, makannya gue gak mau membujur kaku di sebelah loe.
Vika, gue baru tahu kenapa selama enam tahun ini tuhan membiarkan gue bertahan dalam sakit gue, karena tuhan pengen mempertemukan gue sama loe sebelum gue mati Vik. Gue baru sadar Vik, kalau tuhan sayang banget sama gue, dia gak mau gue mati sia-sia sebelum ketemu sama seseorang yang sangat berharga buat gue.
Vika, maafin gue gak bisa jadi sahabat loe yang nyata saat ini, maafin gue gak bisa hidup lebih lama buat jadi tempat tertawa dan menangis loe. Maafin gue karena gue udah gak mampu bertahan buat loe. Gue janji di kehidupan mendatang gue akan hidup lebih lama buat loe, buat nebus kepergian gue yang secepat ini.
Vika, loe mesti janji sama gue jangan pernah lupain gue dan persahabatan kita. Dan loe juga harus janji jangan larut sama gue dan persahabatan kita. Loe mesti cari pacar dan menikah. Kalau perlu cari sahabat baru dan jangan yang penyakitan seperti gue. Karena gue gak mau loe ditinggal sia-sia lagi.
Take care! Gue sayang loe, sayang banget! Oya, gue juga nitipin buku persahabatan kita yang loe suruh gue untuk jaga, sekarang tugas gue untuk jaga buku ini udah selesai, gue serahin ke loe, jaga baik-baik
Selamat tinggal sahabat. Gue janji akan menjadi sahabat loe lagi di kehidupan yang akan datang
From : Maria
Air mataku tak kunjung berhenti menetes, sesak membaca semuannya. Aku membuka buku persahabatan kita. Penuh coretan, curhatan, dan penuh kenangan indah saat masa-masa itu. Aku melihat setiap lembarnnya, setiap lembar kenangan yang akan aku jaga hingga akhir hayatku nanti.
“Maria, gue janji akan jaga buku ini dan persahabatan kita. Gue sayang loe. Gue juga akan nunggu loe di kehidupan yang akan datang. Dan, kita aku memulai persahabatan yang panjang saat itu.” Aku menutup buku persahabatan kita memandang bulan purnama yang bersinar terang.
Udara mulai menusuk ke dalam tulangku, aku bangkit dari dudukku. Tersenyum.
“Selamat tinggal Maria, gue akan sabar menunggu untuk masa yang akan datang.” Aku berjalan meninggalkan tempat itu. Tempat dimana dimulainnya persahabatan dan berakhirnya juga persahabatan. Ya, aku yakin masa yang akan datang tempat ini akan menjadi tempat aku dan dia bertemu kembali.
Aku berjalan menuju mobilku, seketika aku berbalik, lilinnya padam tertiup angin. Aku tersenyum melihatnnya, melihat bahwa Maria sudah benar-benar pergi saat ini. Pergi terbawa angin dan melihat bulan purnama dengan sangat dekat.
Read More ->>

apa reaksi anda?

Diberdayakan oleh Blogger.