Sabtu, 28 September 2013

Kenangan

 

Kenangan


Rasa rindu menyelimuti hatiku yang sepi saat ini. Duduk di tempat pertama kita bertemu. Duduk dimana saat-saat kita tertawa, berlarian, bahkan menangis dan bertengkar. Mengenang sesuatu yang manis bercampur pahit. Ya, enam tahun sudah berlalu sejak masa-masa SMA kita yang menyenangkan. Persahabatan yang kita jalin bersama selama 3 tahun.
Aku memandang langit yang hampir gelap. Aku selalu ingin ke tempat ini saat dimana aku ingat akan janji kita. “Setiap bulan purnama kita harus kesini ya! Bulan purnama itu kan bulan yang kita semua suka, gue gak mau tau gimana sibuknya loe, pokoknya setiap purnama kita harus kumpul!”
Kalimat itu yang selalu aku ingat. Janji yang terucap sangat nyata. Tapi, semuannya tidak mampu aku tepati. Ini adalah bulan purnama pertama aku menepati janji itu. Berharap dia juga datang saat ini untuk menepati janjinnya.
Langit gelap. Bulan mulai muncul sedikit demi sedikit menampakan sinarnya yang indah. Bulat penuh. Aku merasakan desiran angin yang lembut, cahaya bulan yang terang, walaupun hanya dengan lilin di sebelahku. Aku tersenyum, air mata jatuh perlahan.
“Apa loe gak akan datang kali ini? Gue perlu minta maaf atas ketidaktepatan janji gue…” Aku mengguman sendiri, menyalahkan diriku sendiri yang baru bisa menepati janji.
1 jam aku duduk menatapi bulan, air mataku sudah kering. Aku tetap berharap yang aku tunggu datang menghampiri aku. Sampai sebuah tangan menjamah bahuku dari belakang. Aku seketika bangun dari dudukku dan menoleh. Ya! Ini dia, seseorang yang aku tunggu selama enam tahun setelah perpisahan itu. Maria! Aku merindukannya.
Aku tersenyum lebar melihat wajahnnya dan mencoba menyapanya, “Maria! Apa kabar? Maaf baru kali ini,” ucap ku.
Maria hanya diam lalu duduk bersila. Aku melihatnya aneh, dan aku mencoba mengikutinya untuk duduk.
“Enam tahun itu gak sebentar, Vika. Enam tahun itu berat banget buat nepatin janji sendirian,” tiba-tiba Maria bicara dan membuat aku kaget.
“Mar, maafin gue. Gue gak pernah berniat untuk itu, gue kuliah di Amerika dan itu gak dekat untuk gue bolak-balik. Apa loe gak mau ngertiin gue?”
Maria tersenyum kaku mendengar penjelasku, “Gue ngertiin loe kok, Cuma kenapa loe baru balik sekarang? Enam tahun Vik…”
“Sory, gue bener-bener gak ada liburan. Sekarang gue udah wisuda! Gue udah bisa terus disini Mar, sama loe! Gue janji kali ini gue gak akan pergi jauh lagi!” ucapku antusias.
“Selamat!”
“Loe gak seneng dan masih marah sama gue?”
Maria menghela nafas panajang, “Setelah perpisahan itu, bulan purnama pertama dan gue antusias banget untuk dateng dan duduk disini nunggu elo. Lama. Jejak loe sama sekali gak ada dan gue yakin saat itu loe bener-bener sedang sibuk. Purnama kedua gue coba lagi dan sama… loe gak muncul. Purnama ketiga, keempat, kelima, sampe seterusnya loe gak muncul. Gue sempat menyerah buat datang, tapi gue udah janji. Gue duduk sendiri, ketawa, nangis, senyum, saat gue inget semua tentang kita. Gue sering berfikir apa loe disana inget tentang kita? Gue sempet nyerah banget tentang loe, tentang loe yang masih inget atau enggak tentang kita. Lost contact dan gue bener-bener kehilangan jejak loe…”
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana tentang itu semua. Aku hanya melihat wajah Maria yang pucat pasi dengan air mata yang menetes. Aku gak kuat, dan aku memeluknnya sambil menangis.
“Maafin gue, gue gak bisa jadi sahabat yang baik buat loe! Gue gak bisa menepati janji! Please, maafin gue! Gue janji saat ini gue akan jadi sahabat loe yang dulu. Gue janji!” Maria melapaskan pelukanku.
“Enggak! Loe gak akan bisa Vik!”
“Maksud loe apa? Loe udah punya sahabat baru?”
“Enggak! Gue udah terlalu lama sakit banget Vik, enam tahun ini berat banget buat gue nanggung ini sendirian. Gak ada satupun yang tahu betapa susahnya! Gue sakit banget nahan ini sendirian Vik, sakit…” ucap Maria sambil terisak, wajah pucatnnya semakin meyeramkan dengan isak tangis dan air mata.
“Loe kenapa Mar? kenapa? Apa yang terjadi sama loe? Bilang sama gue!” tanyaku sambil sedikit berteriak.
Maria membalikan badannya ke arah ku. Dia menatap dalam-dalam ke pelupuk mataku. Aku merasa di cekik oleh tatapan mata itu. Sesak. Aku sesak melihat matannya. Mata yang sendu, sayu, lelah, sakit, dan penuh tanda tanya besar. Semakin dia melihat mataku aku semakin sesak, sangat sesak. Dia menggerakan tangannya, menyentuh rambutnya dan blas!! Aku membelalakan mataku, bibirku terbuka keras. Rambutnya… rambut indahnnya yang dulu hilang. Kepalannya botak.
“Loe liat? Ini gue yang sekarang, gue yang botak, gue sakit, gue yang sebentar lagi bakalan mati!”
“Maksud loe… maksud loe apaan Mar?” tanya ku dengan penuh ketakutan.
Maria tersenyum miris, “Loe masih nanya? Gue leukemia. Stadium akhir. Sebentar lagi gue mati!” ucapan itu menghantam aku ke sebuah tembok besar. Aku merasa aliran darahku berhenti sekarang, dadaku sesak, nafasku berpacu cepat, dan aku tak mampu bicara kali ini.
“Udah enam tahun ini gue Vik, udah lama banget gue nahan sakit ini sendiri! Gue binggung kenapa tuhan gak langsung cabut aja nyawa gue?! kenapa tuhan harus botakin kepala gue dulu? Kenapa harus kasih gue obat yang banyak banget? Kenapa harus suruh gue terapi yang bikin seluruh tubuh gue ini rasanya sakit banget?! Kenapa Vik?!! Kenapa?!!!” Maria menjadi histeris, suaranya membesar, air matanya jatuh, dia terisak seperti orang gila. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Aku memeluknnya erat saat ini, sangat erat.
“Stop, Mar!!! loe jangan kayak gini dong! Gue tahu perasaan loe, loe tenang dulu Mar!!!”
Maria mulai tenang namum isakannya masih terdengar lirih, aku mencoba menghiburnya saat ini. Mencoba membuatnnya melupakan sakitnnya saat ini. Aku melepaskan pelukanku, memandang bulan purnama.
“Mar, sekarang loe liat deh bulan purnama itu. Terang banget kan? Rasanya tenang banget kalau ngeliatnnya. Ya gak?” Maria hanya diam, dan memakai wignya kembali.
Aku tersenyum, “Loe masih cantik kok walaupun dengan wig itu,”
“Thanks Vik. Gue takut ini bulan purnama terakhir yang gue lihat,”
“Loe gak boleh ngomong gitu, tuhan udah siapin rencana yang indah buat loe kok, loe harus yakin itu. Loe gak boleh nyalahin siapapun, semua udah ada jalannya Mar,”
“Ya, jalan gue yang buruk, jalan gue yang digantung. Gue gak tahu sampai kapan gue harus menahan sakit ini. Gue capek banget. Tapi, loe tahu gak Vik? Gue selalu takut kalau saat ini gue gak bisa lihat bulan purnama lagi. Setiap purnama gue selalu kesini dan rasa takut kalau ini yang terakhir selalu datang menghampiri gue Vik,”
“Gue tahu rasa takut loe Mar, loe harus tahan ya? Gue yakin loe bisa bertahan, loe itu kan kuat banget! Heheh,” ucapku sambil tersenyum.
Maria tersenyum, dan kali ini senyumnnya sangat indah. Ya, senyum sahabatku yang sangat aku rindukan.
“Vika, hari ini gue mau disini semalaman. Gue mau lihat bulan purnama sama loe untuk yang pertama kalinya lagi dan mungkin terakhir kalinya buat gue,” seketika air mataku jatuh aku tak mampu bicara, hanya mengangguk dan tersenyum.
Malam ini aku dan Maria tidur di atas pasir pantai diiringi desiran angin dan suara ombak yang keras. Bercerita kenangan masa lalu, bercerita bagaimana dulu kita yang berbagi, bagaimana dulu kita bercanda, sampai mataku terasa berat dan aku terlelap.

Pagi ini aku disambut oleh deburan ombak, aku membuka mataku dengan berat dan bangkit dari posisi tidurku. Sepi! Aku terkejut melihat hanya aku sendiri disini. Maria dimana? Kapan dia pergi? Banyak tanda tanya di kepalaku saat ini, sampai aku menemukan sebuah amplop yang ditindih batu tepat di sebelahku, tempat dimana Maria tidur kemarin.
“Jangan baca surat ini sebelum loe tahu dimana gue” apa-apaan ini? Kenapa dia seperti ini? Ada apa ini? Aku berjalan cepat ke mobilku dan melajukan ke arah rumah Maria karena hanya itu yang aku tahu.
Aku turun dari mobil tepat di depan rumah besar yang sangat aku kenal. Darahku mengalir cepat, dadaku sesak sangat sesak, dan kakiku lunglai. Bendera kuning itu membuat seluruh tubuhku kaku saat ini. Aku menyeret kakiku yang kaku untuk memasuki rumah besar itu. Melihat sebuah peti yang dikelilingi oleh banyak orang, menangis, aku sontak menangis histeris dan berlari kearah peti.
“MARIAAAA!!! KENAPA?! KENAPA LOE NINGGALIN GUE SECEPAT INI?!!! KENAPA?!!!” aku seperti orang kesetanan saat melihat tubuh Maria terbujur kaku di dalam peti. Semua orang menahanku, memelukku, dan aku yang tak tahan langsung lunglai dan terjatuh. Gelap. Semua hanya gelap.

Aku duduk di tempat terakhir ini. Di pantai ini. Di tempat bulan purnama ini. Ini bulan purnama selanjutnnya setelah kepergian Maria. Ya, aku belum membuka suratnya karena menunggu bulan purnama.
Aku duduk diam memandang langit dengan tatapan kosong, bulan sudah nampak, aku menghidupkan lilin di sebelah ku, tepat di tempat Maria dulu duduk. Sebelumnnya mama Maria juga memberikan aku sebuah buku. Buku persahabatan kita.
Aku membuka perlahan surat yang Maria tulis,
To : Vika
Bulan purnama. Gue tahu saat loe baca surat ini pasti loe lagi lihat bulan purnama. Sory ya gue ninggalin loe sendiri, gue sakit banget saat itu, dan gue udah gak tahan. Saat itu gue tahu bahwa itu bulan purnama gue yang terakhir Vik, makannya gue gak mau membujur kaku di sebelah loe.
Vika, gue baru tahu kenapa selama enam tahun ini tuhan membiarkan gue bertahan dalam sakit gue, karena tuhan pengen mempertemukan gue sama loe sebelum gue mati Vik. Gue baru sadar Vik, kalau tuhan sayang banget sama gue, dia gak mau gue mati sia-sia sebelum ketemu sama seseorang yang sangat berharga buat gue.
Vika, maafin gue gak bisa jadi sahabat loe yang nyata saat ini, maafin gue gak bisa hidup lebih lama buat jadi tempat tertawa dan menangis loe. Maafin gue karena gue udah gak mampu bertahan buat loe. Gue janji di kehidupan mendatang gue akan hidup lebih lama buat loe, buat nebus kepergian gue yang secepat ini.
Vika, loe mesti janji sama gue jangan pernah lupain gue dan persahabatan kita. Dan loe juga harus janji jangan larut sama gue dan persahabatan kita. Loe mesti cari pacar dan menikah. Kalau perlu cari sahabat baru dan jangan yang penyakitan seperti gue. Karena gue gak mau loe ditinggal sia-sia lagi.
Take care! Gue sayang loe, sayang banget! Oya, gue juga nitipin buku persahabatan kita yang loe suruh gue untuk jaga, sekarang tugas gue untuk jaga buku ini udah selesai, gue serahin ke loe, jaga baik-baik
Selamat tinggal sahabat. Gue janji akan menjadi sahabat loe lagi di kehidupan yang akan datang
From : Maria
Air mataku tak kunjung berhenti menetes, sesak membaca semuannya. Aku membuka buku persahabatan kita. Penuh coretan, curhatan, dan penuh kenangan indah saat masa-masa itu. Aku melihat setiap lembarnnya, setiap lembar kenangan yang akan aku jaga hingga akhir hayatku nanti.
“Maria, gue janji akan jaga buku ini dan persahabatan kita. Gue sayang loe. Gue juga akan nunggu loe di kehidupan yang akan datang. Dan, kita aku memulai persahabatan yang panjang saat itu.” Aku menutup buku persahabatan kita memandang bulan purnama yang bersinar terang.
Udara mulai menusuk ke dalam tulangku, aku bangkit dari dudukku. Tersenyum.
“Selamat tinggal Maria, gue akan sabar menunggu untuk masa yang akan datang.” Aku berjalan meninggalkan tempat itu. Tempat dimana dimulainnya persahabatan dan berakhirnya juga persahabatan. Ya, aku yakin masa yang akan datang tempat ini akan menjadi tempat aku dan dia bertemu kembali.
Aku berjalan menuju mobilku, seketika aku berbalik, lilinnya padam tertiup angin. Aku tersenyum melihatnnya, melihat bahwa Maria sudah benar-benar pergi saat ini. Pergi terbawa angin dan melihat bulan purnama dengan sangat dekat.

0 komentar:

Posting Komentar

apa reaksi anda?

Diberdayakan oleh Blogger.